Core Mission Dunia Pesantren
- Diposting Oleh Admin Web Pascasarjana
- Minggu, 18 Maret 2018
- Dilihat 82 Kali
Pesantren adalah lembaga keagamaan yang identik dengan tafaqquh fid dîn, memperdalam ilmu agama Islam. Kurikulum pesantren –sejak awal berdirinya- berkisar pada penguasan tiga ilmu dasar, tauhid (teologi atau ilmu kalam), fiqh, dan tasawuf.
Pada tataran praktisnya, ilmu fiqh mendominasi semua kajian yang ada di pesantren. Ada tiga alasan fiqh dominan, pertama, ilmu fiqh-lah ilmu yang paling dinamis, karena ia menjadi petunjuk moral bagi dinamika sosial (af’âlul mukallafîn) yang selalu berubah dan kompetitif; kedua, ilmu fiqh sangat rasional, mengingat ia adalah ilmu iktisabi (ilmu hasil kajian, analisis, dan penelitian). Disini terjadi kontak sinergis antara sumber transendental dan rasionalitas seorang mujtahid; ketiga, fiqh-lah ilmu yang menekankan pada aktualisasi, real action, atau biasa dikatakan amaliyyah ilmiyah, bersifat praktis sehari-hari. Ketiga elemen prinsip ini dapat ditemukan dalam definisinya, al-fiqhu al-ilmu bi al-ahkâm al-syari’iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatihâ al-tafsiliyyah, fiqh adalah ilmu hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Pengembangan apapun yang dilakukan pesantren tidak boleh menanggalkan identitas utamanya sebagai lembaga tafaqquh fid dîn. Istilah tafaqquh fiddîn sendiri didasari oleh Firman Allah Subhânahû Wata’âlâ dalam surat At Taubah ayat 122 yang artinya: ”Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk member peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepedanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Konsentrasi utama pesantren tetap pada jalur kulturalnya, yaitu pendidikan agama dengan dua sasaran, yaitu (transfer pengetahuan –knowledge- dan transformasi moral) dan pengabdian sosial dengan tulus ikhlas.
Di tengah arus globalisasi yang melahirkan kehampaan spritual –menurut Nurcholish Madjid- pesantren masih menjadi tolok ukur dan menjadi referensi sosial dalam mengatasi kehampaan spritual serta kehausan keagamaan yang terjadi saat ini. Bahkan, mayoritas penduduk Indonesia merupakan santri yang pernah berada dan ‘mondok’ di pesantren.
Pesantren -sejak dulu sampai sekarang- masih menjadi satu-satunya lembaga yang diharapkan mampu melahirkan sosok santri (dalam hal ini ulama) yang berkualitas, dalam arti bahwa seorang santri harus mendalam pengetahuan agama Islamnya, agung moralitasnya dan besar didekasi sosialnya. Walaupun banyak corak dan warna profesi santri setelah belajar dari pesantren, namun figur kiai masih dianggap sebagai bentuk paling ideal, apalagi di tengah krisis ulama sekarang ini. Santri progresif dan dinamis adalah santri yang mampu mengamalkan Islam secara kaffah, komprehensif dan -idealnya- menjadi manusia paripurna (insan kamil). Imam Bawani menuturkan diantara indikasi-indikasi ideal yang harus terpatri dalam diri pribadi santri adalah mampu menciptakan ide (make the ideas), bersikap kritis, kreatif, konstruktif, obyektif, analistis, dan bertanggung jawab (responsibilties). Perbedaan mereka (santri) dengan cendekiawan lainnya adalah adanya komitmen beliveing (keimanan) dan keinginan untuk memperjuangkan Islam yang tinggi (li i’lâi kalimatillâh), serta setiap aktifitas yang mereka lakukan berpedoman pada sistem nilai dan moral Ilahiyah syar’iyah.
KH. Ilyas Rukyat (al-maghfurlah) mengatakan, munculnya figur santri sebagai seorang ulama masih menjadi harapan besar pesantren. Label kiai tidak bisa dicari dan diberikan oleh pesantren. Akan tetapi ‘label’ tersebut bisa ‘dicapai’ ketika santri mampu berkiprah di masyarakatnya. Masyarakat melihat ilmu, moral, dan perjuangannya di tengah-tengah mereka untuk meninggikan agama Allah swt. Santri tersebut mampu menyampaikan gagasan-gagasan besar dengan bahasa sederhana yang bisa dan mampu dipahami dan dilaksanakan oleh masyarakat sekitarnya atau bahkan oleh masyarakat luas. Memang harus diakui, saat ini, alumni pesantren yang mampu muncul sebagai seorang kiai berkualitas baik dalam ilmu, moral, dan dedikasi sosialnya sedikit jumlahnya. Modernisasi pesantren mempengaruhi visi seorang santri untuk menjadi birokrat, kaum profesional, intelektual, dan wirausahawan.
Walaupun perlu diakui, bahwa ragam profesi yang disandang alumni pesanrten saat ini menunjukan elastisitas dan fleksibilitas pesantren dalam membentuk generasi masa depan bangsa. Namun fenomena kelangkaan ulama menjadi masalah serius dan menarik diperbincangkan. Identitas pesantren sebagai lembaga tafaqquh fid dîn dipertanyakan banyak pihak.
KH. MA. Sahal Mahfud mengatakan bahwa semangat santri dalam mengkaji dan mengembangkan ilmu sekarang jauh dibanding santri zaman dulu. Sehingga pesantren sekarang semakin sulit melahirkan ulama besar. Menurutnya, figur santri yang mendalam dalam pemahaman aqidah dan syari’ah masih menjadi figur ideal di tengah goncangan pemikiran ke-Islaman yang masif sekarang ini. Disinilah tantangan besar pesantren, bagaimana memadukan visi melahirkan seorang kiai yang berkualitas di satu sisi dan mengakomodir tanpa kehilangan identitasnya sebagai lembaga tafaqquh fid dîn disisi yang lain, atau meminjam istilah kontemporer “integrasi tradisi dan modernisasi dengan senantiasa bertumpu dan tetap berlandaskan (based and coreness) nilai-nilai ilahiyah hakiki”. Wallâhu a’lam bimurâdihî • Affan, Tenaga Kependidikan di perpustakaan Pascasarjana STAIN Pamekasan (periode 2014-sekarang). Email: affanafnani@gmail.com, cp: 082332613332. Semoga bermanfaat....amien.