THE CHANGING OF FIRST LEADER PESANTREN`S GENERATIONS
- Diposting Oleh Admin Web Pascasarjana
- Kamis, 7 Juni 2018
- Dilihat 115 Kali
Pesantren yang menurut Gusdur sebagai subkultur dari beragam kultur di Indonesia seharusnya mampu mempertahankan ’nama baik’ yang telah ditorehkan, dengan menerima hal-hal yang baru tentunya bernilai positif konstruktif dinamis untuk pesantren dan generasi-generasi pesantren ke depan. Berabad-abad silam pesantren sebagai subkultur pendidikan Islam tertua banyak membuat dan mencetak para pemimpin (leaders) handal.
Tema di atas merupakan inspirasi penulis dalam melihat atau merefleksikan pesantren pasca tahun 2000-an, dan sebagaimana dikatakan Dede Supriyadi –seorang intelektual religius muda dari Tasikmalaya- mengatakan bahwa telah terjadi suatu perubahan minimnya generasi kepemimpinan pesantren (baca: lost generation of pesantren [LGoP]; baca: el jop). Pada awalnya, konsentrasi pesantren lebih pada: pertama, transfer of islamic knowledge (menyebarluaskan ajaran Islam atau intisyâr syarôi’il islâm, kedua, reproduction of ulama (mencetak ulama);
ketiga, transmission of islamic tradition (menanamkan nilai-nilai Islam ke masyarakat. Memang, pesantren sebagai tempat menimba ilmu agama Islam (buq’ah wa makân lit tafaqquh fiddîn) sejak abad 21 mengalami perubahan. Dengan adanya modernisasi serta globalisasi yang mendunia dan tidak bisa dibendung, menuntut pesantren mengikuti trend yang ada, mulai dari sisi orientasi pendidikan, metode pembelajaran, manajemen, administrasi serta tata ruang dan tata letak dari sebuah pesantren.
Walaupun, perlu diketahui bahwa perubahan tersebut sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan perubahan yang terjadi pada masyarakat dunia pada secara general. Idealnya- pesantren sebenarnya harus dinamis dan mampu mempertahankan adicita kiai-kiai sepuh yang menggunakan istilah khairul ma’had Anfa’uhû lil ummat (pesantren terbaik adalah pesantren yang mempunyai kebaikan dan memberikan nilai lebih bagi umat (masyarakat). Nilai lebih itu merupakan core valuaes asas-asas ajaran dan syariat Islam.
Pertanyaannya, masihkan pesantren-pesantren saat ini bisa –minimal- menjaga ‘nama baik’ di atas? Ada beberapa hal yang menurutnya terjadinya el Jop. pertama, adanya perubahan pola berfikir akademisi pesantren (baca: generasi penerus pesantren) yang lebih bersifat inklusif apatis, baik kurikulum, administrasi, dan sebagainya; Kedua, pengaruh IPTEK –saat ini- kurang berimbang dengan IMTAQ. Albert Einsten -psikolog Jerman yang lahir tahun 1879- dalam Science, Philosophy and Religion: a Symposium", 1941 mengatakan Science without religion is lame, religion without science is blind (ilmu tanpa agama lumpuh dan agama tanpa ilmu akan buta);
Ketiga, adanya generasi penerus pesantren yang tidak ‘sepaham’ dengan kiai sepuh atau meminjam istilah Dede Supriyadi– generasi penerus pesantren menginginkan pesantren yang diasuhnya menjadi pesantren yang ‘go public’. Mereka -generasi penerus atau generasi kedua dan seterusnya dari sebuah pesantren- lebih melebarkan ‘sayap’ dan aksesnya (meminjam istilah ilmu perpustakaan, open access), baik akses politik, akses ekonomi, ataupun akses kemasyarakatan, bahkan dalam memberikan fasilitas kepada ustadz senior dalam rihlah ilmiah.
Keempat, adanya pengaruh ‘ajaran liberal’ yang diperoleh dari dosen dan atau buku-buku kontemporer yang mereka pelajari dan peroleh dari perguruan tinggi dimana generasi pesantren (terutama generasi kedua dan seterusnya dari pesantren-pesantren besar) menimba ilmu. Meminjam istilah Ma’ruf Amin –ketika menyampaikan pandangannya tentang liberalism- yang mengatakan ‘banyak pembawa ajaran liberal ke daerah-daerah itu berasal dari kalangan lawarî (para lora putra-putri kiai-kiai pesantren [(putra putri kiai) generasi sebelum menjadi kiai]). Keempat hal inilah yang saat ini mayoritas terjadi di pesantren di Indonesia, terutama di Madura –yang sejak dahulu dikenal dengan pulau yang paling religius (Religius Island, meminjam istilah penulis), dan merupakan pulau yang terbanyak pesantrennya di Indonesia. PENGASUH SEPUH
Seorang kiai sepuh yang notabene menginginkan pesantren yang diasuhnya survive, tetap hidup sepanjang masa dan anscih untuk li i’lâi kalimatillâhi, (semata-mata meninggikan agama Allah SWT.), menginginkan generasi setelahnya minimal sama dengannya dari segi ilmu pengetahuan, ibadah, bahkan tatakelola dan manajemen pesantrennya apalagi lebih baik (khoirun min qoblih). Akan tetapi banyak generasi pesantren penerusnya lebih banyak mengikuti trend ke-pesantren-an yang lebih modern, walaupun keikutsertaan generasi berikutnya dalam jangka panjang akan menjadikan pesantren itu sendiri mati suri dan bahkan akan ditinggalkan pengagumnya, apabila pesantren itu terlalu ‘keluar’ dari jalur pengasuh pertama. Dunia pesantren dan generasi penerusnya idealnya dan biasanya mengetahui qawaid fiqh almuhâfadatu ‘alal qodîmis shôleh, wal akhdu bil jadîdil Ashlah, lebih dimaknai dengan lebih fleksibel dan luas mengena. Pesantren’s generation– harus mampu merekonsiliasi qawaid di atas, sehingga pesantren akan menemukan kembali (refinding) serta mengembalikan era keemasan dan kejayaan Islam (golden era) yang sudah berabad-abad hilang. Tentunya rekonsiliasi itu senantiasa bersumber dari Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Some Solution
Beberapa poin berikut merupakan solusi alternatif urgen, sudah lazim dan biasa dilakukan oleh para kiai pesantren dan mayoritas sesepuh pesantren-pesantren di Indonesia: Pertama, rekrutmen calon kiai dilakukan melalui ikatan pernikahan (ikatan mushôharoh) antara putra putri kiai. Sudah umum dan lumrah, bahwa first leader pesantren melanggengkan ‘kekuasaan’ pesantrennya dengan mengadakan hub ungan silaturahim bahkan sampai ke jenjang pernikahan antara pengasuh sat pesantren dengan pengasuh pesantren yang lain. Tentunya hal ini dilakukan untuk tidak ‘mematikan’ pesantren yang diasuh first leader. Kedua, mendidik putra putri (generasi) pesantren dengan pendidikan yang lebih sesuai dengan tuntutan masyarakat luas atau the rigth knowledge are compare with the social demand without lose of firts goods);
Ketiga, hubungan pernikahan (mushoharoh) biasanya dilaksanakan oleh pengasuh sepuh pada putrinya dinikahkan dengan santri terbaik yang cerdas, penuh dedikasi dan pengabdian yang disertai keikhlasan, loyal dan tentunya profesional. Keempat, calon kiai penerus pesantren harus mempunyai prinsip resiprositas, kemampuan menempatkan dirinya dalam posisi orang lain, terutama di masyarakat tempat tinggal tetap mereka, yang maypritas merupakan masyarakat grass root. Mayarakat bawah bahkan tidak butuh teori muluk-muluk. Mereka membutuhkan ayoman dan bimbingan, serta arahan dari pemegang ‘tampuk’ pesantren. Wallâhu a’lamu bimurâdihî. Biodata Penulis: *Affan, Pemerhati Pesantren; Tenaga Kependidikan di Perpustakaan Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Madura (2014-sekarang); Alumni Strata 2 pada Universitas Wijaya Putra Surabaya (2009-2011), konsentrasi Manajemen Pendidikan;